Pendidikan Karakter Berbasis Wahyu
Detail Produk
Di dunia Barat, nilai-nilai etik diukur menggunakan persepsi manusia (ethical values). Apakah itu nilai baik ataupun nilai buruk. Pengukuran nilai perspektif manusia ini kemudian dilembagakan melalui konsesus bersama di beberapa negara sekuler, yang dari sana akhirnya muncul sebuah parameter etik yang disebut HAM (Hak Asasi Manusia). Anehnya, negara-negara yang berkiblat pada nilai-nilai etik ini lebih maju secara etika dan moral, dan bahkan juga lebih maju dilihat dari aspek penguasaan teknologi dan sains. Hasil yang diperoleh dari penerapan nilai-nilai etik itu bisa dilihat dari terbangunnya karakter bangsa (nation character) di negara-negara Eropa dan sebagian Asia. Bentuk karakter yang terinternalisasi dalam diri masyarakat maju itu, seperti membuang sampah pada tempatnya, budaya antri, menghormati orang lain, ramah dan sopan, taat aturan lalu lintas dan lain sebagainya.
Sebaliknya, di negara-negara berpenduduk muslim mayoritas, nilai-nilai etik diukur berdasarkan nilai baik dan buruk menurut agama (theological values). Dan anehnya, di negara-negara yang berusaha mengembangkan nilai-nilai agama sebagai landasan hukum masyarakatnya dan bahkan sumber hukum negaranya dinilai tidak berbanding lurus dengan harapan agama itu sendiri. Contoh kongkrit yang terjadi di Indonesia. Degradasi moral terjadi hampir di seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Buruknya karakter secara personal ditandai dengan tidak taatnya individu pada aturan lalu lintas, tidak mau antri, membuang sampah sembarangan, memaki dan menghardik, tidak menghormati orang lain, melakukan penipuan atas nama agama, memperkosa anak dibawah umur dan prilaku buruk lainnya. Sementara secara massal buruknya karakter bangsa ditandai dengan tawuran antar pelajar, perang antar warga, korupsi berjamaah, demonstrasi anarkis dan lain sebagainya.
